Taman Sari berarti taman yang indah. Sekitar 10 menit jalan kaki dari Istana Sultan baratdaya. Dibangun oleh Sultan Hamengku bowono I tahun 1757. Dibangun dengan menggabungkan gaya Potugisa dan Jawa. Taman Sari dahulu kala merupakan taman air yang indah dan mutakhir.Area antara tenggara taman sampai perempatan kota disebut Kampung Segaran yang dahulu kala terisi dengan air. Area ini sekarang dinamakan Suryoputran. Segaran berasal dari bahasa jawa yang berarti laut buatan. Setiap Sultan mengunjungi taman, Beliau kesana dengan mendayung perahu melewati jembatan gantung yang disebut Kreteg Gantung yang terletak didepan gerbangistana,wilayah utara atau selatan Kemandungan.
Reruntuhan dari gedung yang berhubungan dengan jembatan gantung masih dapat dilihat sampai sekarang. Disamping transportasi air ada juga jalan keluar bawah tanah atau lorong dari Kraton Yogyakarta leading menuju salah satu bangunan taman yang dinamakan Pasarean Ledok Sari. Taman sari dahulu selain dijadikan tempat bersantai dan hiburan juga merupakan tetapi juga merupakan sistem pertahanan yang unik. Sementara air tidak hanya untuk memperindah taman tetapi juga sebagai senjata rahasia menghindari bahaya. Ketika musuh menyerang, Sultan dan keluarganya melarikan diri melalui terowongan bawah tanah. Ketika semuanya sudah berada di tempat aman, Gerbang air akan terbuka dan Air akan membanjiri musuh hingga tenggelam.
Letak:
Tamansari pada awalnya menempati area seluas 12.600 m 2. Area ini membentang dengan megahnya di sebalah barat Kraton Yogyakarta. Tamansari memiliki 57bangunan sebelum rusak terkena gempa pada tahun 1867. Tamansari terletak di desa Taman.
Sejarah Tamansari
Sejarah tentang penbangunan tamansari ini ada 2 versi. Versi pertama tentang datangnya orang “tiban”, sedangkan versi kedua menurut catatan yang kini tersimpan di Kraton Yogyakarta dan Surakarta.
versi pertama :
Semasa Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat dibawah pimpinan Sri Sultan HB II, terdapat berita tentang adanya orang “tiban” di daerah Mancingan ( pantai selatan Yogyakarta ). Orang “tiban” mempunyai arti yaitu orang asing yang tanpa diketahui asal – usulnya dan secara tiba – tiba muncul di daerah tersebut. Penduduk Mancingan kemudian membawa orang “tiban” tersebut kepada Sri Sultan HB II untuk diserahkan. Orang “tiban” tersebut lama kelamaan mampu berkomunikasi dengan bahasa Jawa setelah mengabdi di Kraton. Sewaktu diminta keterangan, orang “tiban” mengatakan bahwa ia berasal dari negeri Portugis. Di Portugis, ia bekerja sebagai kepala pembuatan
Bangunan:
Mengetahui hal tersebut, Sri Sultan HB II memerintahkan untuk membangun benteng. Setelah pembangunan benteng selesai, Sri Sultan HB II merasa puas dengan hasilnya. Kemudian orang “tiban” diberi anugrah yaitu sebuah jabatan sebagai demang. Orang “tiban” diperintahkan kembali untuk membangun pesanggrahan tamansari, yang tentu saja menunjukkan arsitektur Portugis.
Cerita ini didukung oleh P. J. Veth dalam buku Java – jilid III yang menyatakan : “ De overlevering zegt dat het ontwerpen werd door een Spaansch of Portugeesch ingenieur die als schipsbreukeling op het zuiderstrand was geworpen, maar het echt Javaansch karakter van het gebouw schijnt daarmede in strijd”.
Artinya :
“ Dari pengumpulan data mengatakan bahwa perencanaannya (tamansari) dilakukan oleh seorang Insinyur Spanyol atau Portugis, sebagai korban dari musibah kerusakkan kapalnya dan yang dihempaskan di pantai selatan, tetapi dari corak bangunan yang benar- benar Jawa, nampaknya bertentangan “.
Dalam buku Java – jilid III ini juga menyebutkan bahwa tamansari dibangun pada saat pimpinan Kraton Yogyakarta adalah Sri Sultan HB II.
versi kedua :
Setiap kabupaten harus menyampaikan pajak daerah. Pajak tersebut diserahkan 2 kali dalam setahun yaitu setiap bulan Ramadhan dan bulan Rabiulawal. Ketentuan pajak ini kini tersimpan dalam catatan di Kraton Yogyakarta dan Surakarta.
Dilain pihak, Raden Rangga Prawirasentika yang menjabat sebagai bupati Madiun tidak sanggup untuk membayar pajak 2 kali setahun. Kemudian Sri Sultan menggantinya dengan memerintahkan untuk membuat gamelan sekaten, tandu, dan tamansari. Perintah tersebut disanggupi oleh bupati Madiun tersebut. Gamelan sekaten dan tandu diselesaikan dengan baik, kecuali tamansari. Raden Rangga Prawirasentika merasa pembuatan tamansari lebih berat daripada pajak. Sri Sultan kemudian meneruskan pembangunan tamansari dengan memerintahkan KPH Natakusuma.
Selesainya pembangunan tamansari diberi tanda sengkalan memet yang berbunyi : Lajering Kembang Sinesep Peksi “. Mempunyai makna tahun 1691 S.
Filosofi Tamansari:
Tamansari merupakan taman air yang pada dasarnya untuk bercengkerama dan rekreasi. Bila ditelaah lebih dalam, sebenarnya tamansari bukan tempat untuk bersenang – senang saja. Hal ini ditinjau dari adanya bangunan untuk prajurit mengawasi keamanan dari serangan musuh. Lingkungan tamansari juga tidak meninggalkan ungkapan bahasa Jawa yang berbunyi : “ Sajroning among suko, tan tinggal duga lan prayoga “. Yang artinya : “ Sewaktu orang bersuka ria, seyogyanya tidak boleh lengah akan datangnya mara bahaya, jadi harus selalu waspada “.
Dari telaah lebih dalamyang disertai bukti tersebut, dapatlah diketahui bahwa Sri Sultan tidak meninggalkan sifat keprajuritannya dimanapun dan kapanpun beliau berada.
Fungsi Tamansari:
Sri Sultan sangat berkenan dengan tamansari sehingga beliau sering berada di tamansari selama 2 atau 3 bulan dengan embawa serta permaisuri, putra – putri, saudara, dan abdi dalem. Tamansari juga memiliki tata tertib yang tidak jauh beda dengan tata tertib kraton. Saat berada di tamansari para abdi dalem, putra mahkota, dan pejabat lainnya menjalankan tugasnya masing – masing. Dapat dikatakan pula, tamnsari juga berfungsi sebagai istana.
Pada zaman sekarang, tamansari memiliki fungsi ganda. Selain sebagai pesanggrahan, tamansari juga digunakan untuk acara – acara public. Acara – acara tersebut tentu saja harus meminta izin terlebih dahulu kepada pihak kraton.
Pemugaran Tamansari:
Area seluas 12 hektar ini mengalami perubahan pada tahun 1867 karena gempa dan 57 bangunannya mengalami kerusakan. Dahulu juga ada 18 kebun dan tanaman yang berbeda. Bahan cat bukan dari yiyit lagi, warnanyapun tidak mirip pada zaman dahulu. Waktu rehabilitasi, bangunan- bangunan di Tamansari diusahakan untuk kembali ke bentuk asli walau bahan-bahan yang digunakan tidak seperti dahulu. Di sebagian bangunan, lantai sudah diganti dengan keramik merah dan diberi daun pintu baru.
Akibat gempa 27 Mei 206, bangunan menara di sebelah timur deretan bangunan penutup ventilasi kini keadaannya sudah hancur. Bahkan puing-puing bangunan jatuh di rumah warga. Bangunan bawah tanah juga rusak. Atas bantuan UNESCO, atap bangunan bawah tanah yang rusak ditutup dengan atap plastic dan bangunan lain yang hampir roboh ditopang dengan besi. Sangat disayangkan, sebagian besar bangunan rusak karena gempa dan banyak bagian tamansari menjadi perkampungan penduduk.
Sabtu, 27 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar